Kampungku Kampungmu Kampung Kita

Kisah ini adalah kisah setengah fiksi dan setengah nyata, tergantung bagaimana anda menilainya. Kampung, beragam makna tentangnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kampong adalah sebagai berikut[1]:

1.                  n kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah

2.                  n desa; dusun

3.                  n kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan

4.                  a terbelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot

dapat disumpulkan makna kampung ada yang benar-benar santun bagi para perindu kampung halaman itu sendiri dan ada pula makna sinis terhadap keberadaan kampung ini sendiri.

bagi para perindu kampung, kampung merupakan dimana tempat akan pulang setelah sejauh apapun kaki melangkah menjejaki berbagai negeri. Kampung sebagai guru yang mengajarkan berbagai hal yang akan selalu dikenang. Kampung yang membesarkan dirinya menjadi seorang manusia. Entah manusia yang baik maupun manusia yang buruk, semua tergantung bagaimana kampungnya menumbuhkannya.

Saya pernah membaca sebuah artikel disebuah blog yang membahas tentang bagaimana lingkungan mampu menciptakan karakter seorang manusia. Lingkungan merupakan bagian terpenting dan mendasar dari kehidupan manusia. Sejak dilahirkan manusia sudah berada dalam lingkungan baru dan asing baginya. Dari lingkungan baru inilah sifat dan perilaku manusia terbentuk dengan sendirinya. Lingkungan yang baik akan membentuk pribadi yang baik, sementara lingkungan yang buruk akan membentuk sifat dan perilaku yang buruk pula. Anak-anak berkembang dari suatu hubungan interaksi antara gerakan-gerakan dalam dan kondisi lingkungan luar.[2]

Dapat disimpulkan, bagaimana kondisi kampung yang berkesan terbelakang, tidak modern hingga lingkungan orang yang berpenghasilan rendah, tetap mampu menciptakan manusia-manusia beradab dan sukses. Berapa banyak kisah tentang tokoh-tokoh yang berasal dari kampung? Bahkan, pendiri negara ini pun berasal dari “kampung” halamannya masing-masing. Tapi kampung juga dapat menghasilkan manusia-manusia yang kurang beruntung dalam mencari kesuksesan sehingga meciptakan manusia-manusia yang menjadi benalu.

Kampung dapat diibaratkan sebuah gerbong kereta api panjang yang siap diisi oleh mereka yang memiliki suatu perhentian disebuah tujuan. Gerbong ini tidak akan pernah bergerak jika tidak ada masinis yang akan menjalankan kereta api tersebut. Masinis disini dapat diibaratkan para tokoh maupun tetua di sebuah kampung. Nah, permasalahannya memang sudah tidak banyak masinis-masinis yang siap mengantarkan mereka-mereka yang memiliki tujuan di perhentiannya. Padahal globalisasi bukan tembok besar untuk menaruh asa bahwa orang kampung tidak akan pernah maju. Semua kembali bagaimana kita peduli terhadap sesama dan tidak membiarkan seseorang berhenti bermimpi untuk terus melangkah. Sayangnya, globalisasi telah berhasil membuat masinis-masinis dikampung menjadi lupa bahwa baik benarnya kampung mempengaruhi manusia-manusia yang tumbuh didalamnya. Zona nyaman terlalu sukses menina bobokan masinis-masinis untuk tetap dizonanya dan bertransformasi menjadi pensiunan masinis yang belajar untuk apatis dan terkadang mencoba-coba kapitalis dengan kondisi kampung yang demikian.

Mungkin hal-hal begini yang menjadikan mereka para orang kampung nekat melawan kondisi dan terus menciptakan mimpi untuk tetap bertarung demi mimpinya hingga sampai juga ditujuan dan perhentiannya. Orang-orang yang mulai melabeli diri pernah dikampung lalu merajai dan sukses menguasai suatu bidang dan sektor. Hingga waktu yang menjadi saksi bagaimana proses dirinya tercipta dan tumbuh tanpa menaiki gerbong kereta yang seharusnya sudah bergerak sejak dahulunya. Alhasil apa yang terjadi? Sombong. Congkak, dan rasa puasnya tumbuh seiring ego yang membesar karena melihat dirinya mampu bertarung untuk sampai ke tujuan tanpa bantuan siapapun. Dengan 1 niat, suksesan diri sendiri. persetan dengan kampungku dan semua orang yang masih berada disana.

Sangat disayangkan terjadi hal-hal demikian melihat di kampung sendiri sangat dibutuhkan masinis-masinis penggerak gerbong kereta api dengan banyaknya manusia-manusia lain yang butuh kita antarkan menggapai mimpi-mimpinya diperhentiannya. Rasa muak dan sombong mematikan naluri untuk tetap menjadi manusia yang berani membalikan keadaan dari ketinggalan menuju sebuah kemajuan tanpa merubah hal-hal baik yang ada dikampung itu sendiri.

Di era terbukaan yang disokong kemajuan teknologi informasi saat ini, sangat disayangkan mereka-mereka yang melabeli diri mantan orang kampung padahal masih kampungan berani dan tega menghina kampung halaman sendiri dan malas untuk memberi solusi. Hey Kampung! Isinya udik, norak, dongo, dan goblok. Hey, kau teriak ke diri sendiri goblok! Dasar kampungan!

Ingat dasarmu ingat pelajaran-pelajaran hidup saat kau tumbuh dengan keadaan yang beraneka ragam kau alami. Dima bumi dipijak, disinan langik dijunjuang. Besarpun kau dirantau karena keberhasilan mimpi-mimpimu jangan membuat lehermu kaku bagaikan kaku untuk selalu melihat keatas dan meludahi yang dibawahmu. Kalian Cuma omong kosong belaka sebagaimana kalian membaca tulisan ini dan menganggapnya sampah belaka. 

Hey bro sis, jangan biarkan mereka-mereka yang sedang bermimpi dan dididik di bekas kampungmu berhenti bermimpi dan menjadi manusia yang gagal, jangan. Sudah kewajibanmu dan kewajiban kita semua untuk membalikan keadaan yang makna kampung saja demikian artinya lalu kita tak berani merubahnya hanya karena kau besar kepala berkat kegigihanmu sendiri. Satu kalimat terakhir dariku orang kampung baru, kampungmu tetaplah tempatmu untuk pulang hingga berpulang. Karena “kampung”, adalah satu kata berjuta makna. 

 

Wassallamualaikum..

---

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia

[2] https://anstone.wordpress.com/architecture-info/pengaruh-lingkungan-terhadap-perilaku/